Surat Terbuka Kepada Presiden Prabowo: Indonesia Penting bagi AS, dan AS Harus Penting bagi Indonesia
- Elwin Tobing
- Apr 4
- 3 min read

Tepat tiga puluh tahun lalu, saya menulis artikel di Suara Pembaruan berjudul “Indonesia Penting Bagi Amerika Serikat”. Pesannya sederhana, tetapi mendalam: Indonesia memiliki posisi strategis bagi AS, baik dalam perspektif geoeconomics maupun geopolitics.
Salah satu alineanya:
“Fakta-fakta di atas menunjukkan AS berupaya memulihkan kekuatannya lewat dua strategi penyesuaian penting, yaitu peningkatan efisiensi domestik dan penataan struktur perdagangan luar negeri. Hal terakhir dilakukan dengan mengadaptasikan pendekatan baru yang lebih simpatik terhadap negara/kawasan pusat pertumbuhan perdagangan dunia.”
Saat ini, apa yang saya tulis tiga dekade lalu justru semakin relevan. Geopolitics pada dasarnya adalah managed conflict of bilateral and glonal interests. Dalam konteks ini, kebijakan America First dapat disikapi dengan pendekatan Indonesia First, namun dalam kerangka mutual interest for mutual benefit.
Dengan kata lain, prioritas kita harus jelas. Indonesia harus memajukan kepentingan nasional dengan menerapkan strategic pragmatism untuk mencapai optimal and sustainable growth. Artinya, kita harus realistis, cerdas membaca dinamika global, dan sigap memanfaatkan peluang. Semua itu tanpa kehilangan arah dan tujuan jangka panjang.
Di saat yang sama, hubungan dengan Amerika Serikat perlu kita pandang sebagai the new old frontier. Kawasan lama, peluang baru. Di sinilah pentingnya reorientasi fundamental. Bukan sekadar penyesuaian kebijakan, tapi pembaruan cara pandang, cara bertindak, dan cara membangun kemitraan strategis dengan AS.
REPOSITIONING
Sebagai negara dengan populasi terbesar di ASEAN, Indonesia bukan hanya pilar stabilitas regional, tetapi juga bagian penting dari keseimbangan global—terutama bagi Amerika Serikat. ASEAN, dengan hampir 700 juta penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, adalah kawasan yang sangat vital. Amerika membutuhkan mitra kuat di kawasan ini. Dalam berbagai aspek, Indonesia, memiliki berbagai syarat untuk mengisi peran tersebut.
Berbeda dengan pandangan berbasis teori konspirasi, Indonesia yang maju secara ekonomi, stabil secara politik, dan kuat dalam pertahanan, justru sangat sejalan dengan kepentingan Amerika. Seperti kata John F. Kennedy, “Geography has made us neighbors. History has made us friends. Economics has made us partners, and necessity has made us allies.” Inilah semestinya kerangka berpikir kita dalam memandang hubungan Indonesia-AS.
Namun, sejak tulisan itu terbit tiga dekade lalu, kita tampaknya kurang cermat membaca peluang. Akses terhadap kekuatan ekonomi AS, pendidikan tinggi, transfer teknologi, hingga penguatan institusi belum kita manfaatkan secara optimal. Kita terlalu sibuk mengurus persoalan internal, sementara negara-negara lain—seperti China dan Vietnam—justru agresif memanfaatkan kemitraan strategis mereka dengan Amerika untuk melompat jauh ke depan.
Ironisnya, alih-alih belajar langsung dari sumber utama, kita justru lebih banyak berguru kepada “muridnya”—China. Padahal, kita kurang menyadari bahwa China sejatinya adalah pesaing utama kita dalam banyak sektor, mulai dari manufaktur hingga perebutan investasi asing.
Seharusnya, yang kita bangun adalah kemitraan yang strategis, intensif, berkualitas, dan terukur dengan Amerika Serikat. Bukan sekadar hubungan dagang biasa, melainkan hubungan substantif yang mencakup empat pilar utama: ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi. Sebagai negara majemuk dan demokratis, Indonesia memiliki kesamaan nilai dengan Amerika yang bisa menjadi jembatan penguat.
Buku kami, “Indonesian Dream” (2009, 2018), menggema sejalan dengan semangat American Dream. Bahkan, Pembukaan UUD 1945 kita terinspirasi oleh semangat Declaration of Independence Amerika Serikat. Para pendiri bangsa kita sudah jauh hari memahami bahwa hubungan dengan Amerika bukan hanya soal kepentingan konkret, tetapi juga tentang nilai-nilai luhur seperti kerja keras, kemerdekaan, dan semangat kolaborasi.
REORIENTASI
Sebagai warga negara yang telah berkiprah lebih dari tiga dekade di Amerika, saya melihat dengan jelas bahwa Indonesia belum berhasil memanfaatkan potensi hubungan ini. Bahkan, dalam satu dekade terakhir, arah hubungan Indonesia dengan AS tampak kabur. Pergantian duta besar Indonesia untuk AS sebanyak lima kali dalam sepuluh tahun terakhir adalah cerminan dari kurangnya kesinambungan dan keseriusan dalam membangun strategi bilateral yang kokoh.
Ke depan, pemerintahan Presiden Prabowo perlu melakukan reorientasi dan penajaman ulang terhadap visi besar hubungan Indonesia–Amerika. Amerika harus kita tempatkan bukan sekadar sebagai mitra dagang, tetapi sebagai sumber daya strategis untuk memperkuat perekonomian nasional, pertahanan, pendidikan tinggi, dan kemajuan teknologi kita.
Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia harus menunjukkan kepemimpinan di bidang-bidang yang menjadi kunci daya saing global: sumber daya manusia, teknologi, dan kekuatan bisnis. Jepang, Korea Selatan, dan China terlah berhasil memanfaatkan hubungan strategis mereka dengan Amerika Serikat secara maksimal untuk membangun kejayaan mereka. Indonesia pun harus bergerak ke arah yang sama.
Momentum kebijakan tarif dari pemerintahan Trump harus dapat kita maknai sebagai ajakan untuk refleksi, bukan alasan untuk menjauh. Ini justru kesempatan untuk merumuskan pendekatan baru yang lebih strategis, terarah, dan proaktif.
Sebagai langkah awal, Presiden Prabowo perlu membentuk tim khusus yang solid, kapabel, dan berwawasan global—tim yang benar-benar memahami dinamika ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi Amerika Serikat. Tim ini harus mampu menerjemahkan pemahaman tersebut menjadi kebijakan nyata untuk kemajuan Indonesia.
Seperti pepatah bijak mengingatkan kita, “Opportunity dances with those already on the dance floor.” Indonesia harus memastikan, kita bukan hanya penonton, tetapi juga penari utama di panggung global.
(Elwin Tobing, profesor ekonomi telah menetap di Amerika Serikat sejak 1995, dengan pengalaman tinggal di tiga kawasan utama Amerika: East Coast, Midwest, dan West Coast)
Comments