Presiden Prabowo yang terhormat. Saya percaya hampir seluruh rakyat Indonesia ingin Bapak berhasil memajukan Indonesia. Indonesia berpotensi menjadi bangsa besar, apabila dibangun dan dikelola dengan tepat. Sebagai seseorang yang telah hidup selama 30 tahun di negara maju, saya memiliki kesempatan untuk terus-menerus membandingkan situasi kita dengan keadaan di negara-negara maju. Ada program prioritas kita yang sangat mendesak dan harus segera dikembangkan, yaitu modal manusia.
Kekayaan terbesar kita sebagai bangsa bukanlah sumber daya alam, melainkan manusia kita. Dari sisi kuantitas manusia, Indonesia negara terbesar keempat di dunia. Namun, dari segi kualitas, kita masih tertinggal jauh. Karena itu, agenda prioritas nasional kita adalah mentransfomasi keunggulan kuantitas tersebut menjadi keunggulan kualitas.
Prioritas Pertama
Sekarang dan ke depan adalah era ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge-Based Economy atau KBE). Dalam era ini, ada dua mata uang utama: pengetahuan dan sinergi. Keduanya terkandung dalam manusia. Pengetahuan menyangkut modal manusia, sementara sinergi terkait modal sosial, yaitu komitmen dan kemampuan untuk kolaborasi demi kepentingan bersama. Seperti kami uraikan dalam buku “Indonesian Dream: Revitalisasi & Realisasi Pancasila Sebagai Cita-Cita Bangsa” (Kompas, 2018), dalam dua hal ini, kita masih sangat lemah.
Bicara tentang modal manusia, kita tidak seharusnya lagi bicara pendidikan dasar dan menengah. Itu seharusnya sudah tuntas 40 tahun lalu. Nyatanya, belum. Sementara, yang lebih vital dalam KBE adalah modal manusia di tingkat yang lebih tinggi: lulusan pendidikan tinggi. Dalam aspek ini, kita tertinggal dua generasi dari negara maju, bahkan dengan Korea Selatan.
Sekedar statistik: Per tahun 2022, hanya 10% angkatan kerja Indonesia berpendidikan pasca sekolah menengah. Bandingkan dengan 50% di Korea Selatan dan 62% di AS.
Ini baru dari sisi kuantitas. Kita belum bicara kualitas. Implikasinya, kita perlu melakukan terobosan besar dalam pendidikan tinggi dengan menerapkan pendekatan dan kebijakan yang transformasional serta non-konvensional. (Lebih detil tentang hal ini kami uraikan di buku yang akan terbit “AGENDA INDONESIA: Transformasi Mindset dan Sistim Pendidikan Tinggi sebagai Prasyarat Mewujudkan Indonesia Emas 2049”.
Langkah pertama adalah memisahkan pendidikan tinggi, riset, dan teknologi (diktiristek) dari kementerian pendidikan. Pendidikan tinggi, riset, dan teknologi harus dikelola dalam satu institusi tersendiri. Kembali mengikuti struktur kabinet 2014-2019. Ini adalah kementerian yang memberikan arah, strategi, kebijakan, kordinasi, dan evaluasi pembangunan diktiristek. BRIN orientasinya lebih pada eksekusi dan kordinasi ristek serta mobilisasi kolaborasi pendidikan tinggi dengan dunia usaha.
Kedua, diperlukan komitmen kuat dari pimpinan nasional untuk menjadikan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia sebagai prioritas utama pembangunan, baik dari segi mobilisasi dan alokasi anggaran. Dalam implementasinya, diperlukan terobosan baru yang transformasional yang harus diatur dengan undang-undang.
Ketiga, pemahaman bahwa kunci peningkatan kualitas SDM dan pembangunan nasional sangat bergantung pada mutu pendidikan tinggi nasional dan sinerginya dengan dunia usaha. Tidak ada pilihan lain; kita harus merevolusi pembangunan pendidikan tinggi kita. Diperlukan perombakan besar-besaran sistim pendidikan tinggi nasional. Diktiristek harus ditangani secara khusus, agresif, proaktif, intensif, dan transformasional. Tidak bisa lagi mengikuti pola-pola, paradigma, pendekatan, sistim, dan wajah lama. Kita akan semakin tertinggal bila itu yang terjadi.
Keempat, perombakan dan pengembangan transformasional seperti diuraikan di atas tidak mungkin diinisiasi dan dipimpin oleh wajah-wajah lama. Juga bukan yang berasal dari kalangan politisi, mantan birokrat, relawan, atau pimpinan universitas. Pemimpin ini haruslah seseorang yang memiliki pemahaman dan wawasan mendalam tentang realitas SDM nasional serta terobosan yang diperlukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM kita, khususnya dalam konteks pendidikan tinggi, baik saat ini maupun di masa depan.
Lagged Variable
Perlu diingat bahwa modal manusia adalah variabel tertunda (lagged variable). Artinya, dampak investasi modal manusia terhadap hasil ekonomi atau sosial tidak terjadi secara langsung, melainkan dengan penundaan. Investasi dalam modal manusia, seperti pendidikan, kesehatan, pelatihan, dan pengembangan keterampilan, membutuhkan waktu sebelum menghasilkan peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, mendidik seorang anak hari ini baru akan menghasilkan tenaga kerja yang lebih terampil beberapa tahun kemudian ketika anak tersebut memasuki pasar kerja.
Namun, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin pendek rentang penundaan ini. Investasi dalam pendidikan tinggi yang berkualitas akan menghasilkan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang lebih cepat, karena lulusannya hanya membutuhkan 4-8 tahun untuk memasuki dunia kerja.
Meski sifatnya sebagai variabel tertunda, bukan berarti investasi besar-besaran dan transformasional dalam modal manusia harus ditunda. Justru, setiap penundaan investasi dalam modal manusia akan semakin memperlambat peningkatan produktivitas nasional. Satu dekade penundaan investasi dalam modal manusia berarti negara akan terdampak negatif selama satu generasi. Selama era reformasi, kita praktis tidak melakukan investasi signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia. Itulah sebabnya kita, secara realitas, kita tertinggal 40 tahun. Ini bisa dilihat dari Korea Selatan sebagai bahan perbandingan. Oleh karena itu, investasi besar-besaran dan kebijakan transformasional dalam pengembangan modal manusia di tanah air sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Naturalisasi Indonesia
Setelah beberapa dekade, timnas sepakbola Indonesia mulai diperhitungkan di Asia. Rahasianya? Naturalisasi. Proses naturalisasi pemain PSSI bukan saja soal kemampuan teknis, tetapi juga budaya dan etos. Pemain naturalisasi dari Eropa sudah terbiasa dengan iklim kompetisi ketat serta budaya lebih displin. Mereka membawa karakteristik ekosistem yang sudah melekat dalam dirinya tersebut ke ekosistem Indonesia.
Itu yang saya maksud dengan naturalisasi Indonesia. Benturan, asahan, dan proses belajar-mengajar dari dua sisi. Pemain naturalisasi membawa perubahan dari luar ke dalam. Pemain domestik mengalami perubahan dari dalam ke luar. Proses timbal-balik. Sinergi untuk kemajuan timnas.
Implikasinya, timnas kabinet Presiden Prabowo perlu naturalisasi. Perlu injeksi figur-figur dengan wawasan, perspektif, etos, mindset, dan budaya baru. Yaitu, mereka-mereka yang sudah mengadopsi dan menginternalisir karakteristik ekosistem negara maju (mental, budaya, wawasan, kecakapan, kepakaran, dlsb). Yang sudah terlatih, tergembleng, terbentuk, termotivasi, dan terbukti memiliki karakteristik di atas. Dan, tidak kalah penting, yang tetap terdorong dan cinta untuk memajukan Indonesia.
Mereka membentuk tim bersama dengan “pemain” lokal. Semoga ini menjadi salah satu agenda Presiden Prabowo. Memanggil mereka untuk membangun Indonesia. Naturalisasi Indonesia. Mengisi kabinetnya juga dengan praktisi manajemen ulung, inovator, pemikir, scholar dengan tradisi kebijakan publik dari luar Indonesia, bukan para politisi karir, individu-individu pragmatis, ataupun relawan oportunis. Bila tidak, itu resep kegagalan.
Pepatah kuno mengatakan, “insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results.” Hal yang sama, adalah kegilaan mengharapkan terobosan dan inovasi dari orang-orang dari kelompok yang sama yang tetap memiliki cara berpikir ataupun mindset yang sama.
Tentang Penulis
Sejak tahun 1995, Elwin Tobing telah tinggal dan bekerja di Amerika Serikat. Ia merupakan salah satu peneliti utama kebijakan ekonomi publik asal Indonesia di Amerika Serikat. Karya penelitiannya telah dipublikasikan di berbagai jurnal ekonomi berkaliber. Ia juga telah menulis tentang pemajuan ekonomi Indonesia di media seperti Kompas dan Suara Pembaruan sejak tahun 1993. Elwin menerbitkan buku berjudul “Indonesian Dream: Revitalisasi & Realisasi Pancasila Sebagai Cita-Cita Bangsa” (Kompas, 2018). Buku barunya yang akan terbit “AGENDA INDONESIA: Transformasi Mindset dan Sistim Pendidikan Tinggi sebagai Prasyarat Mewujudkan Indonesia Emas 2049”.
Selama 10 tahun terakhir, Elwin memberikan kuliah dan pelatihan tentang “Strategi Pembangunan Daerah yang Berbasis Manusia” di AS kepada lebih dari 350 pimpinan daerah dari Indonesia dan Cina. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ekonomi dari University of Iowa (2006), M.Sc. di bidang Economic Policy and Planning dari Northeastern University di Boston (1998), serta Sarjana Ilmu Statistik dari Institut Pertanian Bogor (1993).
Tahun 2016, Elwin mendirikan INADATA Consulting di AS dengan tujuan membantu memajukan pembangunan di Indonesia. Sebelumnya, ia mengajar ekonomi di Azusa Pacific University, California, dan California State University Fullerton.