Presiden Prabowo yang terhormat. Pembangunan desa adalah hal penting. Namun, tidak kalah pentingnya adalah bagaimana itu diselenggarakan, dikordinasikan, dan dibiayai. Surat ini adalah hasil pergumulan kami dengan ratusan jajaran pimpinan daerah selama lima tahun terakhir dan juga dengan Ketua APDESI belakangan ini.
Perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan desa memang patut didukung. Sejak 2015, dana desa yang disalurkan mencapai sekitar Rp 540 triliun untuk pembangunan desa, meliputi infrastruktur, pelayanan dasar, dan pemberdayaan ekonomi desa.
Meskipun niat pemerintah baik, kebijakan ini perlu dievaluasi secara objektif dan menyeluruh. Ini terkait efisiensi dan efektivitasnya. Sebab dana tersebut lebih dari cukup untuk mengembangkan 10 universitas dan politeknik negeri hebat yang terintegrasi dengan dunia industri, yang bisa menjadi sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru di berbagai wilayah Nusantara. Ditambah, itu juga sudah dapat membiayai pendidikan tinggi untuk satu juta anak-anak terbaik bangsa menjadi penggerak dan pemimpin pembangunan masa depan Indonesia.
Dampak multiplier dari investasi di atas akan jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi dana desa yang cenderung terfragmentasi dan tidak efisien. Itu sudah bisa memberikan kontribusi terhadapa pertumbuhan ekonomi 0.5% sampai 1% per tahun. Ironisnya, dana desa justru diambil dari dana pendidikan.
Model pembangunan desa sekarang menghadapi lima tantangan utama.
Pertama, inefisiensi dan skala ekonomi. Desa memiliki keterbatasan skala ekonomi yang menghambat efisiensi alokasi dan produksi. Dalam skala ekonomi, biaya per unit turun seiring peningkatan produksi, tetapi desa, dengan sumber daya terbatas, kesulitan mencapai skala tersebut. Pembangunan infrastruktur desa, seperti jalan dan irigasi, membutuhkan investasi besar yang sulit dikelola oleh desa secara mandiri. Fragmentasi dana desa menyebabkan proyek-proyek yang didanai berskala kecil dan berdampak terbatas. Misalnya, pembelian material lebih murah jika dikelola secara kolektif dalam skala besar, namun desa bekerja secara terpisah sehingga efisiensi ekonomi sulit dicapai.
Kedua, proyek tidak berkelanjutan. Proyek yang didanai oleh dana desa cenderung tidak berkesinambungan karena keterbatasan teknis, sumber daya manusia, dan manajemen di desa. Pembangunan fisik menjadi fokus utama, sementara aspek keberlanjutan, seperti pengembangan ekonomi lokal dan pemeliharaan jangka panjang, kurang diperhatikan. Selain itu, pengembangan kapasitas masyarakat desa, seperti pelatihan keterampilan dan manajemen, belum mendapat perhatian yang memadai. Penguatan kapasitas desa seharusnya menjadi prioritas untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan mandiri.
Ketiga, masalah struktural di desa. Tantangan ekonomi struktural, terutama di sektor pertanian, menjadi masalah utama di pedesaan Indonesia. Sebanyak 62% dari 27,8 juta rumah tangga adalah petani gurem dengan lahan kurang dari 0,5 hektar. Mereka rentan terhadap risiko seperti perubahan iklim dan fluktuasi harga pasar, serta sering terjebak dalam utang dengan bunga tinggi karena keterbatasan akses ke lembaga keuangan formal. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) belum mampu menyelesaikan masalah struktural ini. Upaya pembangunan desa harus menyentuh persoalan seperti kepemilikan lahan, akses modal, dan perlindungan terhadap risiko pasar. Hal ini membutuhkan keterlibatan pemerintah yang lebih tinggi dan akses terhadap sumber daya yang lebih besar.
Keempat, birokrasi yang kompleks. Inefisiensi dalam pengelolaan dana desa juga disebabkan oleh biaya administrasi yang tinggi karena birokrasi yang rumit. Surtawijaya, Ketua APDESI, menyampaikan bahwa kepala desa sering hanya menjadi pelaksana keputusan pemerintah pusat tanpa kendali penuh atas alokasi dana desa. Meski proses musyawarah di desa sudah dilakukan, tetapi sering kali tidak sejalan dengan pencairan dana yang telah ditentukan dari pusat. Selain itu, keterlibatan banyak institusi pemerintah dalam pembangunan desa menambah kerumitan. Koordinasi antar kementerian dan pemerintah pusat-daerah sering kali terhambat oleh perbedaan kapasitas desa, risiko duplikasi, dan inkonsistensi kebijakan.
Kelima, keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Keterbatasan SDM dengan keahlian teknis dan manajerial menjadi kendala besar dalam pengelolaan dana desa. Banyak desa tidak memiliki kemampuan untuk mengelola proyek secara efisien, yang mengakibatkan ketidakberlanjutan proyek. Hingga Desember 2019, ada lebih dari 2.000 BUMDes yang tidak beroperasi, dan lebih dari 1.600 berjalan tapi belum optimal dalam menggerakkan ekonomi desa. Keterbatasan ini juga meningkatkan risiko penyalahgunaan dana. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan 187 kasus korupsi di tingkat desa sepanjang 2023, meskipun ini mungkin hanya fenomena "gunung es" karena kemungkinan masih ada kasus yang tidak terungkap.
Perlu Pergeseran Paradigma
Membangun desa secara terisolasi tanpa melihatnya sebagai bagian dari wilayah kabupaten atau kota yang lebih luas mengabaikan kenyataan bahwa desa memiliki keterkaitan ekonomi dan sosial dengan wilayah perkotaan. Sebagai pusat produksi pertanian, desa sangat bergantung pada permintaan produk dari kota. Oleh karena itu, pembangunan desa harus dipandang dalam konteks pengembangan wilayah kabupaten atau kota secara keseluruhan. Ini sejalan dengan teori pembangunan ekonomi Arthur Lewis, yang menyatakan bahwa perkembangan desa bergantung pada pertumbuhan kawasan perkotaan.
Pada tahun 2035, 67% populasi Indonesia akan tinggal di perkotaan, sehingga paradigma pembangunan desa perlu bergeser untuk memperkuat kota-kota kecil yang dapat mendukung desa. Pemerintah kabupaten/kota yang memiliki sumber daya lebih besar dan cakupan wilayah lebih luas seharusnya berperan dalam mengelola pembangunan desa untuk mencapai skala ekonomi yang lebih baik. Ini juga memungkinkan koordinasi yang lebih efisien antara pemerintah daerah, provinsi, nasional, dan sektor swasta. Jadi membangun desa, bukan harus selalu mulai dari desa, tetapi dalam banyak hal justru dari kawasan perkotaan di daerah.
Pengalaman Negara Lain
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa desa sebagai pusat pembangunan tidak selalu efektif. Di India, pembangunan pedesaan oleh pemerintah desa sering terhambat karena keterbatasan kapasitas. Proyek infrastruktur besar sering tertunda atau biayanya membengkak karena desa tidak mampu mengelola proyek dengan baik. Sebaliknya, di Brazil, pembangunan pedesaan dikoordinasikan oleh pemerintah kabupaten dengan dukungan pemerintah federal dan negara bagian, menghasilkan hasil yang lebih efisien dan terkoordinasi.
Badan Koordinasi Data dan Informasi Daerah-Desa
Pembangunan yang efektif membutuhkan koordinasi dan kolaborasi antar institusi yang baik. Namun, koordinasi dan kolaborasi tersebut memerlukan data dan informasi yang akurat. Dalam kedua hal ini, kita masih lemah, termasuk dalam pembangunan daerah dan pedesaan. Pembentukan Badan Koordinasi Data dan Informasi Daerah-Desa, sebagai pengganti Kementerian Desa, dapat membantu mengintegrasikan evaluasi dan informasi yang diperlukan oleh pemerintah daerah dan desa, sehingga pembangunan lebih terarah dan sesuai kebutuhan.
Institusi ini sifatnya lebih fungsional, bukan struktural, instruksional, maupun budgetary. Dana alokasi pembangunan desa sudah masuk dalam APBD. Pemerintah daerah kemudian mengkordinir alokasi dana tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kondisi desa-desa di daerah.
Evaluasi objektif dan menyeluruh terhadap dana desa sangat diperlukan agar pembangunan desa dapat memberikan hasil yang lebih optimal. Itu bisa menjadi agenda awal Badan Kordinasi Data dan Informasi Daerah-Desa. Bila tidak, peningkatan kesejahteraan desa akan sulit tercapai dan dana pembangunan desa akan berujung pada pemborosan.