Impak Geopolitik Global dan Indonesia
Pemilu AS memiliki dampak geopolitik global yang signifikan. Seandainya Trump menang pada 2020 (di bagian akhir dijelaskan mengapa ia kalah), besar kemungkinan Perang Ukraina dan krisis di Timur Tengah tidak akan terjadi. Trump adalah satu-satunya presiden AS dalam satu abad terakhir yang tidak memulai perang atau konflik baru. Pandangan anti-perangnya bertentangan dengan kelompok Military Industrial Complex (MIC) yang mendukung intervensi militer global AS. Trump tidak menyetujui gagasan Amerika mendukung Ukraina masuk NATO, kebijakan yang diterapkan Biden dan Demokrat setelah berkuasa dan memicu perang di Ukraina.
Dalam hubungan AS-Indonesia, dalam artikel saya di Suara Pembaruan 30 tahun lalu berjudul “Indonesia Penting Bagi AS,” saya menyarankan agar Indonesia memposisikan diri untuk memanfaatkan potensi ekonomi dan teknologi AS. Sebagai kekuatan besar, AS adalah mitra belajar, kerja sama, dan peluang bisnis yang sangat berguna untuk pembangunan Indonesia, terutama dalam sektor tekstil, produk pertanian, serta penguasaan teknologi melalui pendidikan tinggi.
Secara geopolitik, posisi strategis Indonesia penting bagi AS, sehingga fokus diplomasi Indonesia dengan AS sebaiknya diarahkan pada tiga bidang strategis: pasar, pendidikan tinggi, dan teknologi. Berbeda dari pandangan sebagian pihak di tanah air yang menganggap AS ingin merusak Indonesia, Indonesia yang kuat secara ekonomi adalah keuntungan bagi AS. Namun, Indonesia harus mampu memanfaatkan hubungan ini secara optimal.
Sayangnya, hal ini belum maksimal. Kita masih kekurangan inisiatif yang terencana, sistematis, dan terarah. Jepang, Korea Selatan, dan Cina berhasil memanfaatkan hubungan mereka dengan AS untuk kemajuan bangsa mereka—mengapa kita tidak?
Menurut saya, ada kesalahan pemahaman di kalangan pembuat kebijakan dan diplomat Indonesia tentang Amerika. Mungkin ideologi mereka mempersempit wawasan, sehingga mereka kurang memahami situasi kompleks dan nuansa diplomasi dengan AS, keterbatasan dalam kemampuan negosiasi dan diplomasi, atau pemahaman situasi Indonesia relatif terhadap potensi kekuatan AS.
Dalam konteks global-domestik, prinsip ekonomi Adam Smith dan game theory John Nash menunjukkan bahwa jika setiap negara mengutamakan kepentingannya, “tangan tak terlihat” akan menuntun menuju hasil ekuilibrium optimal. Prinsip ini sejalan dengan kampanye Donald Trump yang dikenal dengan MAGA (Make America Great Again) dan America First. Masalahnya, apakah setiap negara memahami prinsip ini?
Pemilihan Umum di AS
Banyak yang bisa dicontoh dari AS, termasuk dalam hal pendidikan tinggi, pemajuan ekonomi, pembangunan daerah, pengembangan teknologi, dan lain sebagainya. Tetapi penyelenggaraan pemilihan bukan hal yang perlu dicontoh.
Berdasarkan Konstitusinya, pemilihan di AS diselenggarakan oleh negara bagian, meskipun tujuannya memilih pejabat federal seperti Presiden, Senator, dan anggota DPR. Aturan pemilihan ditetapkan oleh legislatif negara bagian, namun gubernur dan sekretaris negara bagian juga berperan besar dalam pelaksanaannya. Karena itu, kebijakan dan prosedur pemilihan pun dapat berbeda di setiap negara bagian.
Di negara bagian yang sangat menentukan hasil Pilpres, posisi gubernur dan sekretaris negara bagian menjadi vital. Karena itu, partai mana yang menjadi gubernur dan sekretatis di negara bagian memiliki potensi besar menentukan hasil Pilpres.
Pada 2023, anggaran federal AS mencapai $6,4 triliun (sekitar Rp 101.120 triliun), setara 28 kali APBN Indonesia 2024. Nilai ini menunjukkan besarnya “kue” kekuasaan yang diperebutkan. Jika untuk Rp 1 miliar saja seseorang bisa berlaku curang, apalagi untuk taruhan sebesar Rp 100 ribu triliun. Potensi curang tidak bisa ditampik.
Media dan Keberpihakan
Sekitar 90-95% media dan perusahaan Big Tech seperti Google dan Facebook di AS mendukung Partai Demokrat dan berhaluan liberal. Stasiun berita TV seperti CNN, MSNBC, ABC, NBC, dan CBS sarat dengan jurnalis yang mendukung Demokrat. Bahkan Fox News, meski ada jurnalis konservatif atau libertarian, tetap condong ke liberal Demokrat. Pemiliknya, Rupert Murdoch mendukung Hillary Clinton dan Joe Biden dari Partai Demokrat pada Pilpres 2016 dan 2020.
Sebelum diakuisisi Elon Musk, Twitter pun merupakan platform pro-Demokrat dan anti-Trump atau anti-konservatif. Survei Gallup/Knight Foundation 2020 menemukan bahwa 86% orang Amerika percaya media memiliki bias, dan menganggapnya condong ke perspektif liberal dan mendukung Demokrat. Di kalangan konservatif, media bahkan sering disebut sebagai “mesin propaganda Partai Demokrat.”
Mengapa ini penting? Politik pemilu tidak terjadi dalam ruang hampa; media memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik. Misalnya, jika media kolektif tidak melaporkan suatu peristiwa nyata, publik mungkin percaya bahwa peristiwa tersebut tidak pernah terjadi. Atau, jika media menyampaikan berita dengan memelintir fakta 180 derajat dari kenyataan, publik bisa percaya pada informasi palsu atau hoaks yang disampaikan.
Seperti media, penyelenggara jajak pendapat juga tidak lepas dari bias ideologi politiknya. Kebanyakan jajak pendapat di sponsori oleh media tersebut di atas, sehingga hasilnya pun sulit dipercaya apakah bias atau tidak.
Pemilihan yang Kompleks
Kemungkinan besar hasil Pilpres AS tidak akan diketahui pada malam pemilihan 5 November. Dalam sejarah satu abad terakhir, hasil pemilu biasanya sudah bisa dipastikan pada malam hari pemilihan, kecuali tahun 2020. Pilpres 2000 antara Gore dan Bush, serta 1960 antara Kennedy dan Nixon, juga sempat tertunda, namun bukan karena disengaja.
Pada 2020 dan 2024, peraturan negara bagian yang sangat menentukan hasil Pilpres membuat kebijakan bahwa suara akan terus hitung sampai 3-5 hari setelah Pemilu. Kata "Hari Pemilu" menjadi "Minggu Pemilu” atau “Bulan Pemilu" seperti di California, karena perhitungan suara berjalan satu bulan.
Faktor utamanya adalah pemilihan melalui pos. Melalui berbagai manuver politik, Partai Demokrat memperluas pemilihan via pos. Di California, misalnya, surat suara dikirim ke semua pemilih, yang kemudian mengirimkannya kembali melalui pos.
Ada beberapa masalah potensial dengan sistem memilih melalui pos ini.
Pertama, apakah alamat pemilih akurat? Jika tidak, ke mana kertas suara tersebut?
Kedua, bagaimana jika surat suara tidak sampai? Pemilih dapat meminta surat baru, namun ini membuka peluang memiliki lebih dari satu surat suara.
Ketiga, di beberapa negara bagian penentu seperti Georgia dan Pennsylvania, verifikasi tanda tangan tidak diperlukan untuk suara via pos.
Di Michigan dan Arizona, verifikasi tanda tangan diperlukan, tetapi tidak selalu akurat. Nasib "pemilih" ada di tangan panitia pemilih, yang bisa salah dalam tiga hal: menolak surat suara yang sah, menerima yang tidak sah, atau kombinasi keduanya—terutama jika panitia tidak netral.
Keempat, secara historis, kecenderungan pemilih suatu wilayah bisa diketahui apakah mendukung Demokrat atau Republik. Jika panitia pemilih bias terhadap salah satu partai, ada risiko “kesalahan” sistematis dalam menghitung suara via pos yang menguntungkan kandidat tertentu.
Faktor lainnya adalah peran USPS. USPS secara historis dikenal pro-Demokrat, seperti saat mendukung Biden pada 2020 dan kini mendukung Kamala Harris. Serikat Pekerja Pos Amerika (The American Postal Worker Unions) yang mewakili lebih dari 200 ribu pekerja dan pensiunan pos telah menyatakan dukungan untuk Kamala. Dengan dukungan terang-terangan ini, apakah mungkin pengelolaan surat suara via pos tetap netral?
Kelima, pertanyaan kritis berikutnya adalah tentang batas penerimaan surat suara via pos. Di 19 negara bagian, surat suara yang dicap pos tanggal 5 November tetap sah. Dengan petugas pos yang tidak netral, apakah mungkin muncul banyak surat suara yang tiba-tiba dicap tanggal 5 November meski dikirim setelah hari pemilihan? Di Pennsylvania pada 2020, surat suara via pos masih sah meski diterima tiga hari setelah pemilihan. Tahun ini, sekretaris negara bagian mengatakan kebijakan yang sama. Legislatif dan eksekutif di Pennsylvania dikontrol Partai Demokrat.
Keenam, kapan surat suara via pos dihitung? Idealnya, surat suara via pos dihitung lebih awal, segera setelah diterima, tetapi hasilnya disimpan tanpa ditabulasi secara agregat atau diumumkan. Setelah semua suara in-person selesai, tabulasi akhir dilakukan. Ini yang diterapkan di Florida, sehingga meskipun jumlah pemilih mencapai 14,5 juta, hasil Pilpres dapat diketahui pada malam hari pemilihan. Metode ini menghindari potensi manipulasi, seperti tambahan surat suara via pos yang tiba-tiba muncul dari mana dalam jumlah besar untuk menutupi kekurangan suara.
Namun, di beberapa negara bagian seperti Georgia dan Pennsylvania, penghitungan surat suara via pos dilakukan bersamaan dengan penghitungan suara langsung, yang dapat memperlambat hasil pemilu. Di Pennsylvania khususnya, perhitungan suara via pos akan tetap berlangsung hingga 3 hari setelah Pilpres.
Kilas Balik Pilpres 2020
Pada Pilpres 2020, 46% atau hampir separuh adalah melalui pos dengan Biden memenangkan 2/3 di antaranya. Di Pennsylvania, negara bagian krusial, Biden meraih 76% suara via pos dibandingkan 23% untuk Trump. Di Georgia, juga negara bagian krusial, angkanya adalah 65% untuk Biden dan 34% untuk Trump.
FiveThirtyEight, lembaga analisis data pemilu AS, membandingkan suara via pos pada Pilpres 2016 dan 2020. Pada 2016, meski suara absensi juga condong ke Demokrat, selisihnya hanya 14 poin, jauh lebih kecil dibandingkan 65 poin pada 2020—hampir lima kali lipat dari rata-rata selisih pada 2016.
Pertanyaannya, apakah betul bahwa suara via pos untuk Biden bisa tiga kali lebih banyak dari Trump, padahal dampak Covid-19 dirasakan oleh semua orang? Itulah salah satu inti persoalan hasil Pilpres AS tahun 2020 yang diprotes oleh kubu Trump. Hingga kini, belum ada lembaga independen yang melakukan audit menyeluruh terhadap hasil suara via pos pada pemilu 2020.
Ulangan Pilpres 1980 atau 2020?
Dalam artikel saya di American Thinker pada 18 Oktober lalu, saya mempertanyakan keabsahan jajak pendapat yang menunjukkan kontes sangat ketat. Berdasarkan berbagai faktor, seperti situasi ekonomi, pergeseran politik, dan preferensi demografis pemilih, terutama dari kalangan kulit hitam, Latino, dan laki-laki (dari semua kelompok usia), perhitungan saya menunjukkan Trump unggul setidaknya 8 poin.
Pada 31 Oktober, Nate Silver, pendiri FiveThirtyEight yang dikenal sebagai pakar analisis data pemilu AS dengan kecenderungan netral-liberal, menyatakan bahwa banyak jajak pendapat sengaja menggambarkan kontes ini seolah sangat ketat. Menurut analisis Silver sendiri, Trump unggul 10 poin dengan perbandingan 55% vs 45%.
Apakah kita akan menyaksikan skenario seperti Pilpres 1980?
Siklus pemilu ini memiliki kemiripan yang mencolok dengan pemilu 1980 antara Jimmy Carter dan Ronald Reagan. Saat itu, ekonomi yang lesu, kejahatan yang meningkat, dan krisis sandera Iran membuat rakyat Amerika frustrasi. Meskipun jajak pendapat beberapa hari menjelang Pemilu menunjukkan persaingan ketat, Reagan menang telak dengan 51% dan Carter 41%. Para analis mengaitkan kemenangan Reagan dengan perubahan pilihan pemilih di akhir kampanye, di mana 13% pemilih mengubah pilihan mereka di hari-hari terakhir — sebuah fenomena yang dikenal sebagai teori “big bang,” di mana pemilih yang belum memutuskan pilihan secara signifikan mengarah pada perubahan.
Apakah 2024 akan mengikuti pola serupa? Dengan kecemasan ekonomi, masalah keamanan publik, dan frustrasi atas imigrasi ilegal, yang jumlahnya minimal 21 juta (dalam 10 tahun terakhir), kondisi tampaknya cocok untuk perubahan serupa. Namun, ada perbedaan utama yang membayangi pemilu ini: pemungutan suara melalui pos.
Meskipun pemungutan suara melalui pos mungkin tidak sebanyak sebelumnya, tetapi tetap signifikan, terutama di negara bagian yang menjadi kunci. Dengan dorongan Demokrat untuk perpanjangan pemungutan suara melalui surat dan penghitungan suara pasca-Hari Pemilu, hal ini menciptakan dinamika yang tidak dapat diprediksi dan menimbulkan kekhawatiran tentang potensi kecurangan, mengingatkan Pilpres 2020.
Jika 14% warga Amerika kehilangan paket karena pencurian pada 2022, dan 0,55% pengiriman dicuri pada 2023, mengapa suara surat via pos harus berbeda? Dengan kekuasaan, kue Rp 100 ribu triliun serta emosi yang dipertaruhkan, potensi kecurangan meningkat tajam. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang relevansi data jajak pendapat: apakah data sebetulnya relevam atau itu justru menjadi kamuflase untuk hal-hal yang tidak diinginkan.
Too Big To Rig
Tim Trump sangat memahami pengalaman Pilpres 2020. Oleh karena itu, strategi mereka adalah meraih suara sebanyak mungkin sehingga jika terjadi manipulasi atau kecurangan, hasilnya tetap tidak cukup untuk membalikkan keunggulan. Ini dikenal sebagai pendekatan "too big to rig."
Dasar dari strategi ini jelas. Sejak Biden-Harris berkuasa, ekonomi mengalami kesulitan, inflasi meningkat, kejahatan melonjak, dan yang paling krusial, sekitar 11 juta imigran gelap masuk melalui perbatasan dalam tiga tahun terakhir. Kamala Harris secara praktis adalah inkumben dalam Pilpres ini, dan sejarah menunjukkan bahwa inkumben jarang terpilih kembali ketika ekonomi memburuk. Harry Truman pada 1948 adalah pengecualian, tetapi itu didukung faktor lain, termasuk kepribadiannya dan dukungan kuat dari serikat buruh yang tradisionalnya mendukung Demokrat. Kali ini, banyak serikat buruh justru tidak mendukung Harris.
Namun, tidak ada sistem yang benar-benar kebal dari manipulasi. Kuncinya adalah integritas penyelenggara dan penegakan hukum yang tegas jika ada pelanggaran. Sayangnya, hal ini jarang ditegakkan secara ketat di AS. Jika Pilpres berjalan relatif jujur, Trump menang telak dengan perolehan Electoral College sekitar 324 melawan 214.