Ada kabar gembira di AS. Persentase perokok di AS saat ini paling rendah dalam sejarah negeri tersebut, hanya 16 persen. Ini menurun tajam dari angka 45 persen di awal tahun 1950-an.
Tidak mengherankan. Kampanye anti merokok sangat gencar dilakukan di AS. Merokok di gedung-gedung dengan sangat ketat dilarang. Bila seseorang mau merokok di luar gedung, dia harus menjauh dulu sampai 3 meter lebih dari gedung tersebut.
Praktis semua hotel di AS non-smoking, tidak diperbolehkan merokok. Bila seseorang tetap melakukannya, akan dikenakan denda sedikitnya 250 dolar AS atau hampir 4 juta rupiah. Ini sebab ruangan tersebut harus disetrilisasi.
Batas minimum usia untuk bisa secara legal merokok di AS adalah 18 tahun. Di beberapa bagian seperti California, Oregon, Maine, batas usia minimum tersebut ke 21 tahun.
Besarnya kerugian merokok, baik dari segi kesehatan dan ekonomi, tidak perlu diuraikan di sini. Itu luar biasa besarnya. Itu jauh melampaui penerimaan pemerintah dari cukai atau pajak rokok.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Menurut beberapa statistik yang dilaporkan, jumlah perokok di Indonesia mencapai 35 persen dari total populasi atau sekitar 75 juta jiwa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah jumlah dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja. Pertumbuhan prevalansi perokok anak-anak dan remaja yang termasuk tercepat di dunia sebesar 19,4 persen. Sementara menurut data Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN, sebanyak 30 persen anak-anak Indonesia yang berusia di bawah 10 tahun atau sekitar 20 juta anak adalah perokok.
Kebiasaan merokok ini sangat mempengaruhi komposisi pengeluaran keluarga di Indonesia, khususnya keluarga miskin. Menurut data Badan Pusat Statistik, setiap tahunnya alokasi anggaran rumah tangga miskin nomor dua adalah untuk membeli rokok, yakni 12,4 persen. Ini 4,4 kali lipat dari biaya pendidikan dan 3,3 kali lipat dari biaya kesehatan.
Bila merujuk data penduduk miskin di Indonesia yang jumlahnya antara 26 juta (menurut kriteia BPS) sampai 83 juta (dengan kriteria pengeluaran 3.2 dolar AS atau 50 ribu rupiah per hari), kebiasaan merokok ini sudah sangat mempengaruhi masa depan bangsa Indonesia. Misalnya, ambil jalan tengah jumlah penduduk miskin adalah 50 juta jiwa. Artinya, sekitar 10 juta keluarga di Indonesia membelanjakan penghasilannya untuk rokok 4 kali lipat lebih dari biaya pendidikan dan 3 kali lebih dari biaya kesehatan.
Bagaimana Indonesia bisa membangun masa depan yang hebat dengan realitas tersebut? Cita-cita manusia dan bangsa Indonesia, seperti dijelaskan dalam buku “Indonesian Dream: Revitalisasi & Realisasi Pancasila sebagai Cita-cita Bangsa” adalah menjadi manusia berdaulat. Yaitu, yang merdeka (bukan artinya bebas tetapi punya kemerdekaan atau liberty), berkeadilan, dan berpengetahuan.
Tentu saja, berpengetahuan sulit terwujud apabila pengeluaran untuk menjadi berpengetahuan jauh lebih rendah daripada untuk merokok. Dan dengan impak merokok terhadap kesehatan yang sangat membahayakan serta sudah tertawan oleh kebiasaan merokok, akan sulit mewujudkan manusia dan bangsa Indonesia yang merdeka, dalam pengertian liberty, apabila kebiasaan merokok ini tidak segera gencar dan serius dikurangi.
Dan mengingat tingkat dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja yang termasuk paling tinggi di dunia, seseorang wajar bertanya dan bisa menjadi ragu apakah sesungguhnya Indonesia bisa membangun bangsa yang hebat.
Beberapa tahun lalu, dalam mata kuliah Ekonomi Pembangunan yang saja ajarkan, ketika menjelaskan tantangan-tantangan pembangunan modal manusia dan kesehatan di negara-negara berkembang dan terbelakang, saya tunjukkan video Youtube di mana anak-anak di bawah umur di Indonesia merokok dengan gesit dan lincah, seperti mereka sudah kecanduan dan perokok professional. Para mahasiwa saya, anak-anak Amerika, kaget luar biasa dan juga tertawa. Mungkin tertawa prihatin.
Saya juga kaget, meskipun tidak terlalu kaget. Tetapi saya tidak tertawa. Yang adalah kemarahan bercampur kesedihan. Sebagai seseorang bekas perokok, saya sedih dan marah bila bila seseorang merokok dekat saya.
Dalam dua tahun terakhir, bekerjasama dengan universitas, saya mengembangkan program peningkatan kapasitas jajaran pimpinan daerah Indonesia di AS, khususnya dalam bidang perencanaan dan evaluasi pembangunan daerah. Pesertanya adalah para jajaran pimpinan daerah. Dengan tegas saya melarang beberapa pimpinan dan jajaran pimpinan daerah yang merokok. Tentu ini untuk kebaikan semua karena ada juga peserta yang tidak merokok.
Saat ini saya ada di Indonesia. Ke mana saya pergi, senantiasa dikelilingi orang yang merokok. Hotel bintang lima? Ruangan ber AC? Sama saja. Tidak seperti di AS, saya tidak bisa melarang mereka. Tetapi saya hanya bertanya, mau ke mana manusia dan bangsa ini?
Welcome to Indonesia, my friends.
Comments