top of page
Search
Writer's pictureElwin Tobing

Mendesak, Pergeseran Paradigma Pembangunan




Upaya transformasi pembangunan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 bukanlah tugas ringan. Sebagai pemangku utama pembangunan, wajar jika kita bertanya: bagaimana pendekatan pemerintah menghadapi tantangan ini?

 

Kinerja institusi ditentukan oleh paradigma—kerangka berpikir dan sistem nilai—yang memandu dalam menyelesaikan masalah. Karena itu, transformasi pembangunan nasional memerlukan paradigma yang tepat. Berikut beberapa pergeseran paradigma yang dibutuhkan:

 

Pertama, pemerintah bukanlah solusi tunggal untuk semua persoalan sosial-ekonomi di Indonesia. Walaupun pemerintah adalah pemangku kepentingan utama, tantangan sosial-ekonomi adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah harus memandang pemangku kepentingan lain sebagai mitra sejati, bukan bawahan, pelengkap, atau rekanan kolusi.

 

Inovasi yang memajukan peradaban manusia sering kali lahir tanpa intervensi langsung pemerintah. Peran pemerintah adalah menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan kemitraan antar-pemangku kepentingan berjalan produktif, berkelanjutan, dan bebas dari korupsi, kolusi, serta nepotisme.

 

Kedua, pembangunan harus berfokus pada pemberdayaan, bukan menciptakan ketergantungan. Ronald Reagan pernah berkata, “Sembilan kata paling menakutkan adalah: Saya dari pemerintah, dan saya di sini untuk membantu.” Ini bukan menolak peran pemerintah, tetapi mengingatkan bahwa bantuan pemerintah dapat menciptakan ketergantungan, menjadikan penerima bantuan sebagai komoditas politik.

 

Selama 11 tahun terakhir, pemerintah mengalokasikan Rp4.160 triliun untuk bantuan sosial, namun tingkat kemiskinan belum banyak berubah. Pada 2024, bantuan sosial diproyeksikan mencapai 15% anggaran negara, angka yang sulit dipertahankan jangka panjang.

 

Ketiga, pembangunan harus menyasar akar masalah, bukan hanya gejalanya. Fokus pada gejala membuat kita terjebak solusi tambal sulam. Misalnya, salah satu akar utama kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan struktural, akibat perubahan struktur ekonomi.

 

Pada 1993, 50% tenaga kerja berada di sektor pertanian. Pada 2023, angka itu turun menjadi 28%. Sementara itu, penyerapan tenaga kerja di sektor industri (manufaktur dan pertambangan) hanya meningkat dari 12% pada 1993 menjadi 15% pada 2023. Selama periode tersebut, sektor industri hanya menyerap 11,8 juta tenaga kerja dan sektor pertanian 1,2 juta dari 68,8 juta tambahan angkatan kerja. Jadi, kemana 56 juta tenaga kerja lainnya?

 

Dengan 90% angkatan kerja berpendidikan SLTA atau kurang, sebagian besar tenaga kerja terpaksa beralih ke sektor informal dan jasa, yang menawarkan upah rendah. Kegagalan mengembangkan agroindustri dan manufaktur adalah akar masalah ini. Subsidi dapat membantu jika tepat sasaran, tetapi bukan solusi jangka panjang.

 

Keempat, perlu pergeseran dari proyek terisolir ke pembangunan berbasis ekosistem. Ekosistem mencakup sistem saling mendukung untuk keberlanjutan. Dalam agroindustri, misalnya, ekosistem mencakup interaksi antara produksi pertanian, pengolahan, rantai pasok, transportasi, keuangan, riset, teknologi, dan pasar. Dengan pendekatan ekosistem, para pemangku kepentingan dapat menciptakan sinergi untuk mendukung ketahanan pangan, membuka lapangan kerja, dan membangun industri pengolahan yang kompetitif.

 

Kelima, pergeseran fokus dari mengejar pertumbuhan ekonomi ke penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi bertumpu pada produksi, yang melibatkan tenaga kerja. Indikator pertumbuhan ekonomi harus disejajarkan dengan indikator ketenagakerjaan, termasuk pengangguran terselubung, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Pada Februari 2024, sekitar 36% tenaga kerja tergolong pengangguran terselubung, mencerminkan pemanfaatan sumber daya manusia yang belum optimal.

 

Terkait hal ini, penciptaan lapangan kerja harus menjadi prioritas utama kebijakan pembangunan. Selain pengembangan agro-industri modern, diperlukan inisiatif yang mampu memberdayakan 90% angkatan kerja kita. Salah satu diantaranya adalah revitalisasi dan perombakan besar-besaran badan pelatihan kerja agar menjadi institusi modern yang dapat membekali tenaga kerja dengan keterampilan beragam, sesuai potensi dan kearifan daerah dan provinsi dalam menghadapi tantangan ekonomi masa kini dan mendatang.

 

Transformasi pembangunan nasional memerlukan perubahan paradigma yang mendesak. Dengan pendekatan ekosistem, kolaborasi non-kolusif, fokus pada penciptaan lapangan kerja, dan penanganan akar masalah, pembangunan Indonesia dapat berkelanjutan dan berorientasi pada masa depan. Bila tidak, Indonesia Emas 2045 hanya sebatas isapan jempol semata.

0 comments
bottom of page