
Praktis 25 tahun Era Reformasi, kita relatif stagnan. Dalam berbagai hal krusial, Indonesia tidak berubah. Jika memperhitungkan sumberdaya yang sudah keluar, termasuk waktu, tenaga, dan dana, kita sebetulnya mundur besar.
Era Reformasi bertujuan memperbaiki kesalahan Orde Baru, terutama dalam institusi, kepemimpinan, fundamental ekonomi, dan manajemen pembangunan.
Saya kuatir, kita belum banyak beranjak dari kesalahan tersebut. Sebut misalnya KKN yang hanya berubah menjadi NKK. Fundamental ekonomi Indonesia praktis kurang terbangun. Pertanian yang tangguh? Industri yang tangguh? Kita justru mengalami deindustrialiasasi. Pada periode ini, kontribusi industri terhadap PDB menurun dari 24% menjadi 17%, sementara alternatif di sektor jasa tidak menawarkan produktivitas lebih tinggi.
Minimal Orde Baru punya rencana sistematis.
Berikut lebih lanjut terkait beberapa bidang penting:
Data Tenaga Kerja:
Tahun 2000: 99% (pertanian) & 96% (industri) berpendidikan SLTA atau kurang.
Tahun 2023: 98% & 93%.
Produktivitas di kedua sektor strategis nyaris tidak meningkat. Sebagai perbandingan, satu dekade lalu, 15% tenaga kerja industri di Korea Selatan berpendidikan tinggi.
Data Kemiskinan:
Tahun 2000: 68% penduduk miskin ($3.65/hari, 2017 PPP).
Tahun 2023: 62% ($6.85/hari, 2017 PPP, disesuaikan inflasi).
Vietnam: Tingkat kemiskinan turun drastis dari 66% (2000) menjadi 20% (2023) dengan standar pendapatan yang sama.
Kita tidak hanya mundur secara domestik, tetapi juga semakin tertinggal secara global. Vietnam kini menjadi pesaing utama dalam menarik investasi asing, sementara China semakin mendominasi ekonomi dunia, mempersempit peluang bagi Indonesia.
Data Kualitas SDM:
Skor PISA (Pelajar SMP Usia 15 Tahun):
Tahun 2000: Membaca (371), Matematika (367), Sains (393).
Tahun 2022: Membaca (371), Matematika (379), Sains (398).
Hampir tidak ada perubahan.
Mengapa Kita Stagnan?
Tepat 23 tahun lalu, saat masih mahasiswa S3 di University of Iowa, saya memulai daily perspective, tulisan harian di blog Indonesian Institute dengan tagline Promoting a Better Indonesia. Blog ini membahas diagnosis masalah fundamental dan gagasan untuk memajukan pembangunan Indonesia.
Motivasi saya sederhana: kita perlu memahami secara jelas tantangan fundamental yang dihadapi agar solusi yang diberikan tepat sasaran. Seperti pepatah, mengenali masalah adalah separuh dari solusi.
Namun, setelah 23 tahun, saya khawatir kita masih keliru dalam mendiagnosis tantangan utama Indonesia. Kurangnya refleksi dan perbandingan yang tepat membuat kita seperti melihat pohon tanpa memahami hutannya. Akibatnya, solusi yang diambil menjadi kurang efektif atau keliru, dan kita stagnan.
Atau, mungkin kita memahami masalah, tetapi tidak tahu bagaimana menyelesaikannya dengan benar.
Ini berkaitan dengan kualitas SDM, baik dari sisi kapabilitas dan karakter (2K). Dalam persaingan global saat ini, suatu bangsa membutuhkan minimal 20% SDM yang mumpuni dalam 2K untuk bisa maju. Indonesia masih jauh dari angka tersebut.
Selain kapabilitas dan karakter, diperlukan komitmen dan penghargaan terhadap waktu. Kita harus bergerak cepat, tidak menunggu, dan tidak membuang waktu—karena waktu adalah sumber daya vital. Kesempatan yang hilang tidak akan kembali, dan solusi yang terlambat menjadi tidak efektif.
Solusinya? Kita harus bangun 20% SDM yang mumpuni. Itu pesan daily perspective 23 tahun lalu. Mungkin sudah saatnya itu dihidupkan kembali.
Comentários