top of page
Search
Writer's pictureElwin Tobing

2030: Make it or break it, Bung! (Bag. 1)

Updated: Apr 24, 2018

Antara skenario pesimis vs skenario optimis tentang Indonesia di tahun 2030.


2030. Seperti judul film. Dan saya sudah pernah menontonnya. Akhir daripada film tersebut tidak seperti yang disajikan oleh dua kubu yang saling bersikeras akan skenario 2030 tersebut, yaitu perkembangan Indonesia akan “make it or break it” di tahun 2030 (sukses total atau kegagalan total).


Kubu pertama kita namakan “break it”. Ini dipicu oleh pidato Prabowo yang dianggap kontroversial sebab dalam pidatonya tersebut Prabowo mengatakan Indonesia “tidak ada lagi tahun 2030.” Stop. Saya kutip potongan pidato tersebut tanpa lengkap. Bila dikutip seperti itu, Prabowo sepertinya meramalkan bahwa Indonesia sudah punah pada 2030. Karena itu, saya tulis lebih lengkap untuk memberikan perspektif yang lebih baik:


“Saudara-saudara! Kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini, tetapi di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030. Bung! Mereka ramalkan kita ini bubar…”


Kata kuncinya di sini adalah “mereka”. Apakah Prabowo percaya akan prediksi “mereka” tersebut, saya kurang tahu.

Yang saya tahu, mendekati tahun Pemilu 2019, polarisasi dan dukungan terhadap partai dan sosok politik di Indonesia semakin menajam. Belum setajam dan sevulgar di Amerika Serikat. Tetapi kecenderungan yang berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa pendukung salah satu partai atau tokoh hanya melihat sisi negatif daripada partai atau tokoh lain. Untuk lebih kongkritnya, pendukung Prabowo cenderung hanya melihat sisi negatif Presiden Joko Widodo, dan sebaliknya.


Kembali ke 2030. Kubu kedua kita namakan “make it”. Ini didasarkan berbagai perkiraan, prediksi, atau proyeksi akan prestasi ekonomi Indonesia dan yang terkait dengan hal tersebut. Lebih singkatnya, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi dunia nomor 5 atau 7 di tahun 2030, tergantung versi mana yang Anda baca.


Break it, Bung!


Kedua skenario di atas sama-sama didasarkan proyeksi atau perkiraan. Dalam pidato Prabowo dikatakan “mereka sudah bikin kajian-kajian”. Kajian yang dimaksud sebenarnya adalah pengandaian atau suatu skenario di suatu novel fiksi ilmiah Ghost Fleet karangan Peter W. Singer dan August Cole yang kaya tentang bagaimana Perang Dunia berikutnya bisa berkembang dan dihadapi.


Betul bahwa itu fiksi. Tetapi banyak informasi di dalam novel tersebut disajikan melalui riset yang tidak sembarangan. Peter Singer sendiri, lulusan Ph.D. dalam bidang Pemerintahan dari Harvard University, saat ini luas dipandang salah satu ahli terkemuka dunia tentang perubahan dalam peperangan abad ke-21.


Artinya, novel Ghost Fleet bukan cerita fiksi picisan.


Saya kurang tahu seberapa banyak skenario fiksi yang ditulis di novel bisa menjadi kenyataan. Saya menduga itu sangatlah kecil. Tetapi salah satu yang paling tersohor adalah novel fiksi karangan Jules Verne pada tahun 1865 yang berjudul Dari Bumi ke Bulan. Dalam novel tersebut, tiga orang Amerika ditembakkan ke ruang angkasa dengan meriam maha besar dinamakan Columbiad untuk mendarat di bulan. Jules Verne memperkirakan berat Columbiad kira-kira 9 ton dengan biaya 5.5 juta dolar AS kala itu.


Sekitar satu abad kemudian, di tahun 1969, Amerika mengirim tiga orang ke bulan dalam modul komando Columbia dan modul lunar Eagle, yang keduanya memiliki total berat sekitar 10.8 ton. Biaya pendaratan di bulan tersebut mencapai biaya 16 miliar dolar AS pada tahun 1969. Bila dikonversi, perkiraan Jules Verne sebesar 5.5 juta dolar AS di tahun 1985 setara dengan sekitar 13 miliar dolar AS pada tahun 1969.


Novel fiksi yang menjadi kenyataan.


Terlepas itu skenario fiksi atau tidak, tidak ada salahnya kita bertanya apakah memang Indonesia akan bisa tetap bertahan sebagai suatu bangsa di tahun 2030. Alih-alih Indonesia, Amerika Serikat pun diramalkan tumbang pada tahun 2030.


Professor sejarah dari University of Wisconsin-Madison, AS, Alfred McCoy, yang dianggap punya reputasi hebat, memperkirakan bahwa pada tahun 2030, Cina akan melampaui AS dalam kekuatan ekonomi dan militer, yang pada gilirannya mengakhiri kekuatan Amerika dan Pax Americana dunia yang kita kenal sejak Perang Dunia II. “Abad Amerika, yang dikumandangkan dengan penuh kemenangan pada awal Perang Dunia II, mungkin sudah compang-camping dan memudar pada tahun 2025 dan, kecuali yang saling tuding menuding, bisa berakhir pada tahun 2030,” tulisnya di bukunya “In the Shadows of the American Century: The Rise and Decline of U.S. Global Power”.


Tetapi, bukan semata-mata karena faktor Cina yang membuat AS akan tumbang. Menurut Professor McCoy, itu juga disebabkan faktor internal di mana semua kecenderungan negatif yang menjangkiti Amerika sekarang ini semakin lebih buruk, berkembang pesat pada 2020, dan akan “mencapai massa kritis sebelum tahun 2030.”


Saya bukan ahli sejarah. Juga belum ada waktu untuk mempelajari secara detil pengaruh kebangkitan Cina serta proyeksi kekuatannya 10-15 tahun ke depan terhadap geopolitik dan geoekonomik dunia umumnya dan AS, Indonesia serta ASEAN, khususnya. Tetapi, proyeksi akan dominasi Cina atas Amerika dan dunia bukan hal baru. Apakah itu menjadi kenyataan?


Ahli-ahli sejarah dan ilmu-ilmu sosial umumnya memproyeksikan kejadian atau peristiwa di masa depan berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang berkembang di masa lalu dan masa kini. Bila tren ke depan itu linier atau lurus, mereka beruntung. Prediksinya kemungkinan besar tidak banyak yang melenceng. Bila pola perkembangan ke depan tiba-tiba acak atau ada penikungan yang oleh karena berbagai hal, maka prediksi mereka bisa banyak yang melenceng.

Di samping itu, karena subyek yang diteliti dan dipelajari bisa terkait dengan bangsa-bangsa yang terdiri dari ratusan bahkan miliaran manusia, kisaran kesalahan daripada prediksi atau proyeksi ilmu-ilmu sosial bisa cukup luas. Mengapa? Manusia adalah mahluk dinamis. Dan karena bangsa terdiri dari manusia-manusia, maka bangsa juga dinamis. Misalnya, bayangkan seseorang sedang menyetir mobil dan cenderung tetap menginjak gas meskipun jalanan berkelok-kelok. Ini kecenderungannya setiap mengemudi mobil yang mungkin membayangkan dirinya seperti pembalap mobil relli amatiran. Tetapi, tiba-tiba tidak jauh di depan, ada tikungan curam dan tajam hampir 90 derajat. Apakah individu tersebut tetap menginjak gas ataukah memindahkan kaki untuk menginjak rem agar mobilnya bisa berjalan lebih pelan, selamat melewati tikungan curam dan tajam tersebut?


Pengendara yang dinamis tetap sadar akan bahaya di depan. Namun dalam hal ini, mungkin saja individu tersebut terlambat menginjak rem atau kekuatan rem mobilnya tidak lagi sanggup memperlambat kecepatan mobilnya tepat waktunya untuk bisa melewati tikungan curam dan tajam tersebut dengan selamat. Atau, bisa jadi dia melewatinya dengan mulus.


Memprediksi sesuatu yang dinamis bukanlah pekerjaan mudah.


Prediksi Professor McCoy, sejauh tertentu, agak mirip dengan apa yang ditulis sejarawan dan professor sejarah Inggris terkenal Paul Kennedy di tahun 1987 dalam bukunya The Rise and Fall of the Great Powers. Mengambil pelajaran dari sejarah, Paul Kennedy mengatakan bahwa AS, sebagai negara besar (Great Power) yang dominan akan semakin mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya untuk militer untuk mempertahankan pengaruhnya, yang disebutnya kekaisaran yang sudah melampui batas (imperial overstretch). Konsekuensinya adalah sumberdaya untuk kemajuan ekonomi semakin sedikit yang mengakibatkan kemunduran ekonomi. Bersamaan dengan kemunduran ekonomi tersebut, negara-negara pesaing utama seperti Jepang dan Masyarakat Eropa (di tahun 1980-an), bangkit menjadi kekuatan utama ekonomi. Pada akhirnya, prediksi Professor Kennedy, tanpa ada perubahan fundamental, Amerika akan ambruk.


Ganti Jepang dan Masyarakat Eropa (ME) di dekade 80-an dengan Cina dewasa ini dan juga dengan ekspansi militer AS yang terjadi sebelumnya (karena Perang Dingin di tahun 1960 sampai akhir 1980-an dan perang melawan terorisme di dekade 2000-an dan 2010-an), maka paralel sejarah tersebut tidak begitu melenceng; kecuali dalam sedikitnya dua hal. Pertama, kemunduran industri manufaktur dan pertanian di AS yang dianggap Paul Kennedy melemahkan ekonomi AS. Betul bahwa sektor manufaktur semakin kecil kontribusinya terhadap ekonomi AS. Tetapi era 1980-an dianggap sebagai era yang memberikan landasan pada ekonomi berbasis inovasi yang kita alami sekarang dan membuat ekonomi AS tetap bertumbuh. Jadi, “kemunduran” ekonomi AS tersebut adalah suatu awal terhadap kemajuan, bukan untuk kemunduran yang lebih buruk. Ekonomi itu sangat dinamis dan tidak selalu berubah secara linier. Itu sebabnya, ekonomi Jepang dan ME tidak mendominasi dunia pasca 1980-an seperti yang diprediksi oleh Paul Kennedy.


Kedua, Jepang dan Masyarakat Eropa (dalam hal ini Jerman sebagai salah satu kekuatan utama) menghadapi hambatan secara konstitusional untuk berkembang menjadi supremasi militer sebagai konsekuensi kalah perang di Perang Dunia (PD) II. Sesuai Konstitusi Jepang dan Jerman pasca PD II, militer di kedua negara tersebut hanya ditujukan untuk pertahanan, bukan ekspansi.


Ini berbeda dengan Cina yang dewasa ini secara militer dinilai sedang mengarah kegiatan yang ekspansif. Bisa saja dalam satu dekade ke depan kekuatan militer Cina akan meningkat luar biasa. Akan tetapi, itu memerlukan biaya sangat besar. Kedua, seperti pengalaman sejarah, kekuatan militer sangat tergantung pada inovasi teknologi, termasuk di masa depan. Dalam hal ini kekuatan militer AS pada 2030, dengan kemajuan teknologi yang dimilikinya, belum tentu akan di bawah supremasi militer Cina.


Uraian di atas menekankan bahwa faktor eksternal, seperti persaingan dengan negara lain kecil kemungkinan sebagai faktor dominan yang akan meruntuhkan suatu bangsa. Lebih 30 tahun setelah buku tersebut diterbitkan, AS tetap berdiri kuat sebagai suatu negara. Prediksi Paul Kennedy tidak kenyataan.


Contoh lain, pada 1968, Paul Elrich, professor dari Stanford University, dalam bukunya “The Population Bomb”, memprediksi bahwa karena pertumbuhan penduduk yang tinggi, akan terjadi kelaparan massal yang hebat di dunia pada dekade 1970-an dan 1980-an yang akan mengakibatkan jutaan orang meninggal. Menurutnya, meskipun banyak nyawa dapat diselamatkan melalui langkah-langkah dramatis, itu sudah terlambat untuk mencegah peningkatan kematian yang substansial secara global. Apa yang terjadi? Tingkat kematian global terus menurun secara substansial sejak dekade 1970-an, dari 13 per 1000 penduduk pada 1965–74 menjadi 10 per 1000 penduduk pada 1985–1990.


“Prediksi,” seperti kata Niels Bohr, ahli fisika kenamaan dan pemenang Noble, “sangatlah sulit, terutama mengenai masa depan.”


Skenario Film 2030 #1


Apakah Indonesia akan ambruk tahun 2030? Jawabnya, mari kita ingat pengalaman nasional pada akhir dekade 1990-an dan awal 2000-an: krisis ekonomi dan keuangan yang cukup parah; transisi pergantian rejim setelah 30 tahun berkuasa; krisis dan huru-hara sosial yang meluas di mana-mana; konflik massal di Ambon, Poso, dan Sampit yang menyebabkan ribuan orang meninggal dan jutaan lainnya menjadi mengungsi; Timor Timur merdeka; akibat krisis ekonomi, kemiskinan meningkat tajam. Singkatnya, situasi internal yang begitu buruk mengundang pertanyaan akan kelangsungan Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara.


Misalnya, pada Juni 3, 1999, BBC News menulis, “Siapa yang memiliki Indonesia?” Lalu, peneliti ternama tentang Indonesia, Donald K. Emmerson, menulis artikel di Foreign Affairs, edisi Mei/Juni 2000 dengan judul “Apakah Indonesia bisa Bertahan Hidup?” Dan di tahun 2001, Edward Aspinall dan Mark Berger menulis artikel di Third World Quarterly berjudul Perpecahan Indonesia?” Masih, Jusuf Wanandi menulis artikel berjudul “Indonesia: Negara yang Gagal?” di The Washington Quarterly edisi musim panas 2002.


Bahkan teori domino sempat berkembang bahwa Indonesia akan seperti negara bekas Yugoslavia yang terpecah belah lewat perang sipil berdarah. Balkanisasi Indonesia adalah hal tidak terlalu mengada-ada di ujung tahun 1990an dan awal tahun 2000.


Tentu saja semua prediksi dan kekuatiran di atas tidak terjadi. Indonesia sebagai suatu bangsa secara teritorial masih satu, mulai dari Aceh sampai Merauke. Tidak hanya itu, berbagai masalah kompleks yang dihadapi, mulai dari ekonomi, politik, dan perang antar komunitas di beberapa daerah, secara perlahan dilalui tanpa peristiwa berdarah yang lebih buruk. Selain itu juga, Indonesia mengambil langkah-langkah besar dalam menuju perubahan dalam konstitusi nasional, badan legislatif dan yudikatif yang lebih independen dibanding jaman Orde Baru, serta pemerintahan yang lebih desentralis. John Bresnan dan beberapa peneliti ternama tentang Indonesia di berbagai Universitas di Amerika menamakan ini “transisi yang besar” (the great transition).


Bila tren sekarang masih sama sampai 2030, dan dengan situasi cukup buruk dari berbagai sisi yang dihadapi Indonesia sekitar dua dekade lalu, justru skenario Indonesia akan ambruk tersebut lebih valid disodorkan pada 1999/2000. Kecuali kalau meteor besar jatuh di Indonesia (berdoa tidak) atau ada hal maha besar yang datang dari luar Indonesia yang kita tidak antisipasi dan menghantam Nusantara dengan fatal, faktor eksternal sebagai penyebab ambruknya Indonesia di tahun 2030 tampaknya mustahil. Dan bila skenario di atas yang terjadi, bukan hanya Indonesia, tetapi negara-negara sekitar juga bisa terancam.


Uni Soviet dan Yugoslavia pecah bukan karena faktor eksternal, tetapi karena faktor internal. Uni Soviet pecah karena sistim ekonomi yang terpusat (komunis) di tambah dengan alokasi anggaran sangat besar untuk militer untuk bersaing dengan Amerika dan NATO dalam Perang Dingin, membuat tingkat kesejahteraan rakyat buruk. Selain itu, rakyat tidak mengalami kebebasan berekspresi. Bila generasi X atau Y sekarang yang belum lahir tahun 1960-an atau 70-an sulit membayangkan bagaimana Uni Soviet pada waktu itu, situasinya agak mirip dengan Korea Utara sekarang hanya skalanya jauh lebih besar. Sementara itu Yugoslavia pecah setelah pemimpinya Tito yang diktator meninggal dan “perekat” semu kesatuan negara tiba-tiba ambruk. Yogaslavia pecah pada dasarnya karena perang saudara antar etnis.


Ini membawa saya pada tesis bahwa Indonesia tidak akan ambruk pada 2030 oleh karena faktor eksternal. Perpecahan terjadi hanya apabila faktor-faktor internal sedemikian hebat bergejolak yang membuat poros kesatuan atau perekat kesatuan nasional Indonesia tidak mampu lagi menahannya.


Tentu tugas kita adalah mengidentifikasi apa saja faktor-faktor internal tersebut. Ekonomi? Bisa saja. Politik? Bisa juga. Pertikaian agama, suku, ras, dan semacamnya? Mungkin saja. Setelah itu kita memperkirakan faktor mana di antara mereka yang paling mungkin sebagai penyebab utama.


Faktor ekonomi agak tidak mungkin kecuali kita akan mengalami pengalaman jauh lebih buruk daripada tahun 1998-2000. Apakah mungkin terjadi pelarian modal asing (dan juga dalam negeri) secara besar-besaran yang membuat nilai rupiah anjlok luar biasa (dari kurs 1$AS =Rp2.200 sampai 1$AS=Rp 18.000 di bulan Juli 1998), harga-harga membubung, dan yang kemudian memberikan efek spiral yang meluas dan memburuk di segala bidang? Apakah fundamental ekonomi Indonesia dan juga fundamental bisnis dari perusahaan-perusahaan konglomerat di Indonesia lebih buruk saat ini dibanding dekade 1990-an? Saya belum tahu, dan ini menjadi bahan kajian ke depan. Tetapi, rasanya diperlukan kemerosotan nilai rupiah yang sangat tinggi untuk bisa memicu kesulitan, kepanikan dan huru-hara ekonomi dan sosial yang meluas. Apakah akan kita saksikan rupiah jatuh sampai 1$AS senilai Rp70.000 atau Rp100.000 dari sekitar Rp13.500 saat ini? Saya belum bisa antisipasi skenario itu akan terjadi.


Tentang gejolak politik, kita sudah dua kali mengalami peristiwa cukup buruk dan yang bisa mengancam kesatuan nasional, dari pertengahan sampai akhir tahun 1960-an dan akhir dekade 1990-an. Dan Indonesia tetap ada. Saya tidak membayangkan akan ada peristiwa politik seburuk 50 tahun lalu.


Ini membawa kita pada pepatah, “Tidak ada sesuatu yang baru di dunia ini.


Pertanyaan di atas pun sudah ditanyakan oleh Kompas dalam suatu jajak pendapat 16 Agustus 1999: “Dari semua masalah yang berkembang di Indonesia, masalah apa yang menjadi kekuatiran utama yang dapat menyebabkan perpecahan nasional?”


Tabel 1. Kekuatiran Utama yang Dapat Menyebabkan Perpecahan Nasional (Survei Kompas, 16 Agustus 1999)

Faktor ekonomi ternyata hanya menduduki urutan ke-4, sementara faktor politik berada pada urutan ke-3. Sekitar 67 persen (atau 2 dari 3) responden mengatakan bahwa faktor agama dan ras yang bisa menjadi pemicu utama keruntuhan Indonesia.


Enam tahun berikutnya, pada 22 Agustus 2005, harian yang sama melakukan jejak pendapat dan menanyakan pertanyaan yang hampir sama: Apakah Anda kuatir bahwa pertikaian antar agama sudah mengancam persatuan nasional? Sekitar 73% dari 873 responden menjawab “ya”.


Data dan informasi di atas menunjukkan bahwa faktor agama sangat menentukan dalam mewujudkan persatuan Indonesia. Tidak diragukan bahwa agama memiliki pengaruh yang sangat kuat hampir di semua masyarakat di seluruh dunia. Dan bagi hampir seluruh rakyat Indonesia, agama tidak saja hanya identitas, tetapi juga jalan hidup. Dalam suatu survei yang dilakukan oleh Pew Research Center dari Amerika Serikat di tahun 2008 di 23 negara tentang sikap dan pandangan warganya akan agama, 99 persen responden dari Indonesia mengatakan bahwa agama penting dan sangat penting dalam hidup mereka, suatu persentase tertinggi di antara ke 23 negara dalam survei tersebut.[i]


Ini membutuhkan adanya diskusi yang objektif, jujur, terbuka, dan mendasar tentang peranan agama dalam mewujudkan tidak saja persatuan Indonesia, tetapi juga cita-cita manusia dan bangsa Indonesia menjadi manusia dan bangsa berdaulat. Seperti kata Franz Magnis-Suseno, “Persoalannya bukan apakah agama relevan atau tidak dalam membangun kemajuan di Indonesia, tetapi bagaimana agama-agama memainkan peranannya dalam mencapai tujuan tersebut.”[ii]


Dalam mendiskusikan hal vital ini, sangatlah penting untuk belajar dari berbagai pengalaman ketegangan dan konflik bernuansakan keagamaan yang terjadi di tanah air khususnya dua dekade terakhir serta kecenderungan penonjolan eksklusifme keagamaan yang semakin intensif dewasa ini. Seperti kata pepatah, “siapa yang tidak belajar dari pengalaman, niscaya akan mengulanginya.” Kita tidak saja akan mengalami kembali konflik berdarah yang bernuansakan keagamaan, tetapi mungkin akan mengalami hal yang jauh lebih buruk dari apa yang sudah kita alami sebelumnya.

Jadi adalah faktor internal yang harus kita waspadai dan kita coba atasi secara damai dan terbuka untuk tetap menjaga persatuan Indonesia. Faktor internal tersebut pada dasarnya terkait dengan bagaimana manusia Indonesia memandang, menilai, dan berinteraksi dengan sesama bangsanya. Intinya, bagaimana mereka bisa berprinsip bahwa hanya dengan semangat kebersamaan dan prinsip kerjasama, mereka, apakah sebagai individu, kelompok, masyarakat atapun bangsa, dapat mencapai kemajuan bersama-sama.


Adalah persatuan manusia yang mendiami suatu negara yang menghasilkan persatuan negara tersebut secara teritorial, bukan sebaliknya. Fakta menunjukkan bahwa kesatuan teritorial belum tentu menjamin kesatuan manusia. Pecahnya Yugoslavia, dimana kesatuan teritorial dipaksakan secara semu ketika rejim pemerintahan Tito, adalah suatu contoh. Contoh lain adalah bekas Uni Soviet yang pecah di tahun 1991 ketika mengalami pemaksaan kesatuan teritorial selama beberapa dekade.


Sebaliknya, kesatuan manusia dapat menggiring kesatuan teritorial. Sesaat setelah tembok Berlin runtuh, batasan teritorial antara Jerman Barat dan Jerman Timur juga roboh, membawa kesatuan manusia dari kedua negara tersebut. Sejauh tertentu, adalah perasaan kesatuan manusia di negara-negara Eropa Barat yang mendorong terciptanya Uni Eropa, yang tidak hanya menghapuskan pembatasan-pembatasan geografis, tetapi juga secara simbolis membawa kesatuan teritorial dan manusia yang dilambangkan dengan kesatuan mata uang Euro.


Kesatuan manusia dapat menggiring kesatuan wilayah teritorial.


Jadi saya sudah melihat film dengan skenario yang pertama. Kecuali ada malapetaka alam luar biasa, sangat kecil kemungkinan ancaman eksternal akan meruntuhkan Indonesia. Kemungkinan ambruknya Indonesia bisa terjadi adalah apabila manusia-manusia Indonesia sendiri memang sudah tidak mau bersatu. Jadi, penyebab utama adalah faktor internal, manusia-manusia bangsa itu sendiri.


[ii] Wawancara saya dengan Franz Magnis Suseno di Jakarta pada 8 January, 2004.


0 comments

Comments


bottom of page