Pandemik covid-19 memperkenalkan kita jargon baru yang sedikit membingungkan: new normal. Hampir semua wacana, program, dan event saat ini menambahkan kata “era post-covid” atau “era new normal.”
Tetapi, bagaimana dengan pre-covid? Apakah agenda-agenda, tantangan-tantangan, dan norma-norma pre-covid masih relevan? Atau, apakah kita menekan tombol “reset” dan mulai kehidupan dari awal (fresh start) dari Juni 2020?
Apakah sesungguhnya dengan new normal?
Bila new normal adalah “old” normal plus kebiasaan baru yang positif/produktif, itu artinya kemajuan. Bila new normal menyangkut perubahan prinsip berpikir dan bertindak, kita harus cermati. Apakah prinsip baru tersebut lebih kondusif terhadap kemajuan, justru negatif, atau sebetulnya sama saja.
Selama tiga bulan terakhir, prediksi tingkat kematian dan infeksi dari covid-19 selalu berubah. Sayangnya, angka prediksi tersebut sudah membuat dunia panik yang memaksa kebijakan radikal di seluruh dunia dan mengakibatkan biaya ekonomi maha dahsyat.
Ini mengungkapkan bahwa manusia, dalam situasi tertentu, tidak lebih daripada komunitas herd yang cenderung panik menghadapi ketidak-pastian. Mengapa seekor singa bisa membuat sekelompok banteng, yang jumlahnya bisa ratusan, lari kocar kacir? Karena mereka panik dan tidak mau jadi korban pertama daripada singa tersebut. Bila mereka tidak panik tetapi melawan bersama-sama, sekelompok singa pun akan justru lari menjauh.
Kepanikan menekan rasionalitas seseorang. Prinsipnya menjadi: bertindak dulu persoalan kemudian. Itu old normal. Apakah ini juga prinsip atau kecenderungan dalam era new normal? Saya kuatir demikian.
Demokrasi dan Covid
Ada dua reaksi kita terhadap efek ekonomi covid ini yang patut dicermati. Pertama, pengesahan UU No 2 tahun 2020 tentang “Kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemic coronavirus disease 2019 (covid-19)…”. Dengan dasar kegentingan sesuai pasal 22 UUD 1945, atas persetujuan DPR, peraturan pemerintah tentang hal yang sama disahkan menjadi UU.
UU tersebut praktis memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menyusun dan mengatur alokasi dan realisasi anggaran tanpa persetujuan DPR. Kesampingkan debat “tingkat” kegentingan yang memaksa UU tersebut sesuai pasal 22 UUD 1945. Kita berpaling sejenak ke awal era reformasi. Salah satu aspek yang melahirkan reformasi 1999 adalah kontrol DPR yang lemah terhadap pemerintah pada era Orde Baru karena DPR cenderung hanya berfungsi sebagai “rubber stamp” pemerintah.
Dua dekade lalu kita menghadapi krisis multi-dimensi (ekonomi, sosial, dan politik). Ancaman disintegrasi bukan hanya ilusi. Ribuan penduduk meninggal karena konflik sosial. Di tengah krisis multi-dimensi tersebut, secara politik apa yang kita perjuangkan? Demokrasi dengan memperkuat badan legislatif.
Dan selama dua dekade terakhir, melalui pemilu yang sudah menelan ratusan triliun dana dan tidak sedikit nyawa, rakyat menginginkan adanya lembaga DPR yang dapat bertugas sesuai fungsinya yang diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. Kemajuan demokrasi kita diukur dari kualitas pemilihan dan kinerja DPR dalam menjalankan fungsinya tersebut.
Karena sistim pemilihan kita masih sarat dengan politik uang, kita berharap pada kinerja DPR (meski keduanya sebenarnya tautologi). Covid-19 membuat fungsi DPR sekaligus kinerjanya sudah berkurang. Setelah dua dekade pengorbanan sangat besar untuk memajukan demokrasi, secara prinsip kita malah sedikit mundur.
Meletakkan landasan hukum dalam menjawab tantangan ekonomi akibat covid ini sebetulnya bisa tanpa mengganggu prosedur sistim pemerintahan demokrasi. Fungsi anggaran tersebut tetap di DPR termasuk selama proses pemulihan ekonomi. Dengan kordinasi koalisi partai pemerintah yang praktis mengontrol DPR, apa yang (baik) diinginkan oleh pemerintah pada akhirnya juga akan disetujui. Jadi paling tidak secara prosedural, proses pemerintahan demokrasi tersebut seharusnya berjalan terus.
Memang, bila melihat politik domestik di AS, politik anggaran di DPR bisa membuat macet pemerintahan. Di tengah krisis, ini bisa membuat situasi makin rusak. Tetapi itu terjadi karena dua partai sama kuat dan mau menggunakan anggaran sebagai instrumen atau proksi untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan. Namun, melalui debat di DPR, paling tidak itu membuat proses penyusunan dan postur anggaran tersebut dapat diketahui oleh umum secara terbuka.
Covid-19 sudah merusak ekonomi, jangan sampai itu juga merusak sistim demokrasi kita.
Sumber Daya Manusia
Kedua, pada pre-covid, salah satu agenda utama pembangunan kita adalah pemajuan sumberdaya manusia (SDM). Tetapi covid tidak saja menyebabkan kemunduran secara ekonomi, tetapi juga keruntuhan secara psikologi. Itu mempengaruhi komitmen yang dibangun pada periode pre-covid. Apakah dalam new normal kita masih berprinsip dan memiliki komitmen yang sama bahwa membangun adalah SDM kunci ke masa depan? Atau apakah kepanikan “old” normal tetap berlaku dalam new normal? Bisa jadi.
Ikatan Guru Indonesia (IGI) meminta Kemendikbud untuk menggeser tahun ajaran baru 2020/2021 ke bulan Januari 2021. Kemendikbud memutuskan musim tahun ajaran baru tetap dimulai bulan Juli 2020. Tetapi, pembelajaran untuk jenjang SD ke bawah tetap dengan distance learning. Tatap muka hanya khusus bagi sekolah SMP ke atas di wilayah zona hijau. Itupun harus diatur secara ketat.
Itu berarti hampir satu tahun ajaran siswa SD sampai sebagian besar SMP ke atas menjalani distance learning. Ini coba kita hadapkan dengan realitas kualitas pendidikan dasar dan menengah kita. Dari berbagai tes standar internasional dua dekade terakhir, kualitas siswa SMP kita secara konsisten berada pada 90 persentil (posisi 10 persen dari bawah). Kualitas SMP menentukan kualitas pendidikan SMA, dan seterusnya. Sebaliknya, kualitas pendidikan SMP sangat ditentukan kualitas pendidikan SD. Artinya kualitas pendidikan dasar sangat menentukan kualitas pendidikan jenjang berikutnya. Tidak heran namanya pendidikan dasar.
Keputusan untuk tetap memberlakukan distance learning untuk SD mengundang beberapa pertanyaan. Apakah infrastruktur dan sarana telekomunikasi kita sudah bisa menjangkau seluruh siswa? Kedua, apakah beban biaya telekomunikasi tersebut dapat terjangkau oleh setiap keluarga? Ketiga, apakah ada penilaian bahwa anak-anak siswa betul-betul belajar sesuai dengan kurikulum yang sudah disusun. Keempat, bagaimana dengan anak-anak yang tidak memiliki dukungan di rumah masing-masing.
Kami sendiri punya anak SD yang kemampuannya di atas rata-rata. Meski demikian, selama program distance learning di masa lockdown, diperlukan partisipasi aktif kami untuk membimbingnya menyelesaikan materi pelajarannya sesuai kurikulum yang berjalan. Beruntung kami kedua orangtuanya mampu.
Bagaimana dengan anak-anak dengan kemampuan rata-rata atau di bawah serta tidak memiliki dukungan sistim di rumah? Pada tahun 1998, sekitar 65 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas masih berpendidikan SD atau kurang. Mereka-mereka inilah yang umumnya memiliki anak SMP ke bawah saat ini.
Bicara risiko covid-19, seberapa besar risikonya terhadap anak-anak? Bila melihat data dari Amerika Serikat, risiko sangat kecil. Dari data yang ada, selama periode Februari-Juni 2020, jumlah kematian covid-19 untuk usia 5-14 tahun adalah 13 dari 1,755 atau 7 per seribu kematian. Artinya, 99.3% kematian anak usia 5-14 disebabkan penyakit atau faktor lain. Untuk usia remaja dan baru dewasa, 15-24 tahun, angka tersebut sedikit meningkat, 125 orang dari 10.986 kematian. Atau, sekitar 99% kematian penduduk usia 15-24 tahun disebabkan oleh penyakit atau faktor di luar covid. Saya yakin angka ini mungkin hampir sama di Indonesia.
Betul bahwa terkadang desperate situation requires desperate measures. Juga betul bahwa situasi kita sangat buruk. Tetapi itu belum pada tahap desperate yang artinya amat sangat buruk. Jangan sampai kita desperado.
Comments